Jumat, 02 Mei 2008

SEJARAH CINTA

11/06/2005

Bulan menyempurnakan cahayanya, cahaya mataku, ketika ia melintas di jendela. Ia bergegas nangkring di pucuk-pucuk daun turi. Ia melintas dengan cahaya emas, yang ruahnya membentang seluas cakrawala. Ia mengajak serangga bercengkerama, bernyanyi bersama-sama. Ia mengajak kita, jangan tidur terlalu sore. Cahayanya yang emas seakan menebas: ayo kurangi tidur dengan berjaga. Atau: hati-hati, selalu banyak bencana bagi mereka yang lena. Dan, itulah sehingga ayah malam ini setia berjaga. Demi kamu, bulanku, yang diramal bidan akan segera nongol mengejutkan bumi.

Bundamu masih dengan terusan kain sulaman, bersimpuh di atas sajadah. Sesekali terdengar samar keciap bibirnya. Ia menundukkan kepala, khusyuk melapalkan doa. Redup matanya perlambang doa yang dilantun sepenuh pinta. Lirih doanya dijejer, memeram suka-duka mengandungmu menjadi gairah menyala. Ayah hanya memandanginya, tanpa kata-kata. Cemas bergegas menjelang dengan lekas. Ah, beginikah rasanya menunggu kelahiran anak pertama? Tak bisa mengeja indahnya cahaya. Rembulan merah selebar tampah, seakan kehilangan pesona. Gemerlap gemintang dan kunang-kunang menguning, seperti kehilangan simpati. Hanya satu yang mengendap di dada, cahaya mataku, hanya satu. Sesuatu bernama cemas.

Gelap malam, cahaya mataku, belum lagi suluruhnya luruh. Tangan-tangan malam yang perkasa menyergap cemasku seketika. Bundamu menggapai-gapai dengan tangannya yang tak sampai. Gelagapan, sampai tak sampai.

”Ayah, sekarang, ayah.”

Bergegas kutangkup tangannya lekas-lekas. Meremas simpul jemarinya dengan perlahan. Berharap bisa berbagi ketenangan dan bertukar kecemasan. Betapa tidak, engkau bakal lahir justru ketika ayahmu ini tak mencekal bahkan sekeping logam lima ratusan. Duh, bagaimana engkau menantang sejarah?

☼☼☼

”Kenapa diam saja, yah. Ayo ke rumah bidan....?”

Suara lirih bundamu malah seperti geletar cemeti petir, menyambar hingar-bingar di telingaku. Mendadak seperti angin puting beliung yang datang menciut-ciut.

”Sabar, bunda. Ayah cari ojek dulu, yah?”

Tanpa menunggu anggukan setuju bundamu selesai, ayah bergegas ke rumah Daeng Siruwa. Tengah malam buta, pukul dua, tanpa uang sepeser pun, butuh nyali lebih untuk membangunkan tukang ojek, meski ayah mengenal dan akrab dengannya. Tapi, demi kamu cahaya mataku, telah putus urat malu ayah, berganti urat nekad yang memancang kokoh di sela tulang belulang. Sungguh, modal awalnya adalah nekad, selebihnya serupa tawakkal. Ayah percaya, setiap manusia dibekali dengan rejeki masing-masing, Begitu pun kamu, cahaya mataku, telah menunggu rejekimu, biarpun itu di tengah malam buta. Dinihari pukul dua.

Ayah tiba di rumah Daeng Siruwa, tertegun melihat lampu di beranda tak menebar nyala. Celingak-celinguk ayah memastikan jangan-jangan masih ada yang terjaga. Ayah tebarkan apndang ke suluruh penjuru rumah, tak terlihat apa-apa. Ayah kemasi semua nyali yang tersisa dan menggumpal di dada. Ya, mau atau tidak, ayah harus membangunkan Daeng Siruwa. Toh, hal yang mustahil jika ayah harus menggendong bundamu ke rumah bidan Susan, yang terpisah sejauh dua puluh kilo dari rumah kakekmu.

”Assalamu’alaikum, tabek daeng...”

Tak ada sahutan, sepatah pun kata. Kuulang sekali, sambil lirih melantunkan bait-bait doa. Dengan suara lebih nyaring dan ketukan di pintu yang lebih keras, kukemas harap sekali lagi.

”Assalamu’alaikum, Daeng Siruwa?”

Tak ada jawaban, kecuali lirih dendang belalang dan pekik jangkrik. Diam-diam ayah melangkah ke jendela, tepat di kamar Daeng Marewa. Lantai yang dari papan berderit-deret menyertai langkah yang diseret-seret pelan. Rumah berbentuk panggung, dengan kolong setinggi satu setengah meter, bergoyang digadang angin. Ah, belum juga terjaga Daeng Marewa.

Setelah rasa putus asa datang menyapa, ayah putuskan untuk mencari tukang ojek yang lain. Di kampung sebelah, yang berjarak lima ratus meter. Dengan lemas, ayah menapak anak-anak tangga. Lekas-lekas, bergegas.

”Siapa di luar?”

Tiba-tiba saja sebuah teriakan bergema di malam senyap.

”Saya, Daeng Marewa. Maaf mengganggu.”

Lalu, terdengar langah limbung diayun menuju daun pintu. Berderit, dan menyembul muka yang terlihat kumal dan gumpal.

”Ada apa, daeng?” tanya Dang Siruwa sembari mengucek-ngucek mata sipitnya.

”Istri saya mau melahirkan, tolong diantar ke rumah bidan Susan.”

”Sekarang, daeng?”
”Iya,” sahut ayah, ”kalau besok nanti keburu lahir.”

”Tunggu di rumahta saja, daeng. Nanti saya menyusul.”

Alhamdulillah, syukur menggerung di hati, menerobos kerongkong dan melejit ke angkasa. Begitulah, jika Tuhan sudah berkehendak, tak ada satu pun makhluk-Nya yang kuasa menentang. Begitulah, cahaya mataku, mana kala takdir sudah ditentukan, dinihari pukul dua pun tetap saja ada perwakilan Tuhan yang mau memberikan bantuan. Jadi, mengapa kita selalu memilih lalai dari bersyukur pada pemberian Tuhan? Tidak seperti malam, bumi dan langit yang setia melebur diri, tepekur dalam sunyi?

Sungguh, apa yang bakal terjadi di sebalik langit yang nyaris runtuh didentur arak-arakan badik pertanyaan yang menggemuruh? Apakah istriku bisa melahirkan dengan selamat? Bisakah aku nanti mendengar jerit tangis dan pecentang kaki bayiku menendang-nendang dunia? Laki-lakikah ia? Perempuankah ia? Putihkah parasnya? Mancungkah hidungnya? Ah, ah, ah! Lagi-lagi tanda tanya berbaris rapi, antri di hati.

Dan, di bawah curah cahaya bulan, bundamu menunggu bersama seraut cemar menggurat di keningnya. Matanya, begitulah ia merawat cemas, yang tersingkap ditarik-tarik angin, tercabik-cabik. Mulutnya komat-kamit melafalkan doa. Seperti berdendang tentang mantra sakti, berharap selamat luput dari bahaya. Semoga ilmu hitam orang-orang penuh dengki, jampi-jampi orang-orang yang irihati, guna-guna mereka yang syirik, semuanya lumpuh dan sirna. Tak berdaya.

Ayah merengkuh bahu bundamu. Menularkan semangat yang tak terkata. Berbagi bahagia dari pendar cahaya mata.

”Tenang, bunda. Ini malam anak kita akan lahir dengan selamat.”

Tangis membuncah di telaga mata. Hendak meruah. Tapi ayah mencegah dengan segala cara. Ayah tahu, sedikit saja cemas membayang di wajah ayah yang pias, bundamu pasti akan lebih gelisah.

Begitulah nak, kisah semalam sebelum engkau bertandang ke dunia, ayah dan bundamu berserah dikepung gelisah. Pasrah. Semata hanya kepada Tuhan kami berserah. Kami tak pernah ragu, engkau pasti lahir bersama rejekimu sendiri. Engkau pasti lahir bersama peruntunganmu sendiri. Dan, keyakinan itu membuncah, menuntun kami melangkah dengan pasti.

Jika percaya pada pertolongan Tuhan, pertolongan itu akan selalu datang dengan tiba-tiba. Dari segala arah yang tidak pernah kita kira. Selalu begitu.
Kelak, jika engkau dewasa, bacalah ceracau ayah ini untuk menyanggah sejarah. Sejarah kelahiranmu. Sejarah cinta.

Tidak ada komentar: