Jumat, 02 Mei 2008

Makassar, 10/09/2005


Coba tengadah, cahaya mataku, pandanglah bebaris awan. Mereka berarak rapi mengundang angin. Lihatlah burung-burung yang terbang rendah, melayah di sela bukit. Bergegas menuju sarang senja. Lihatlah matahari yang bertengger sejengkal di atas ambang cakrawala. Pulau Kayangan yang bertabur warna kuning keemasan. Dan Pantai Losari mulai dikerubuti para penjaja. Sungguh, barangkali kelak kamu masih bisa mencecap pisang epe di kaki senja. Enak, nak.

Hari ini, matahari ke seratus duapuluh yang telah kamu jalani, cahaya mataku. Tiga putaran bulan kamu selasari sejarah kehidupan baru. Telahkah kamu kenali cinta, cahaya mataku? Tahukah kamu hakekat cinta sejati? Tahukah kamu makna cinta hakiki? Tahukah kamu bagaimana mengeja cinta abadi? Sungguh, cahaya mataku, cinta yang hakiki, sejati dan abadi, tak pernah mampu kita selami, selama kita masih memenjara hati dengan memelihara rerupa cinta-cinta dunia.

Ayahmu ini, cahaya mataku, bukanlah seorang pujangga yang mampu merangkai kata sedemikian indah. Atahmu ini pun bukan seorang sastrawan yang piawai memainkan kata-kata. Ayahmu ini juga bukanlah seorang guru bahasa yang mengerti betul tata krama menulis dan struktur bahasa. Ayahmu ini hanya seorang manusia biasa, yang ’kebetulan’ bisa membaca, apalagi membaca cinta. Ayahmu ini hanya seorang pencinta kata-kata. Ayahmu ini hanya penikmat sastra, yang sesekali menggumam lirih membaca puisi yang indah dan sarat makna.

Tapi, cahaya mataku, ayahmu ini ingin berbagi tahu. Pengetahuan tentang cinta. Bukan karena ayahmu ini serba tahu perihal cinta dari a sampai z. Bukan pula karena merasa paling mengerti tentang cinta. Apalagi sampai merasa ’sok tahu’. Semoga Sang Pemilik Segala Cinta memberi cinta yang selalu berlebih. Yang jelas, ayah hanya ingin memberi secercah pencerah. Ayah ’ngeri’, jangan sampai kelak kamu mengeja makna cinta dari beribu sinetron Indonesia. Tak ada maksud ayahmu ini apriori terhadap sinetron anak bangsa, apalagi membencinya. Ayah hanya miris dengan penetrasi cinta menurut versi sinetron Indonesia, yang porsinya lebih pada ’kelas tinggi’, selingkuh, rebutan cinta, atau rumah gedong yang kering kasih sayang.

Bukan cinta ’monyet’ yang hendak kita bahas di sini, cahaya mataku, melainkan cinta yang hakiki. Cinta sejati. Cinta tanpa tandingan. Cinta tanpa pembanding. Cinta yang dibangun berdasarkan syariat dengan iman sebagai podasinya. Bukan yang tidak mengikuti syariat dan dibangun atas nama syahwat. Dulu, sewaktu bundamu masih berstatus calon bundamu, ia sempat bertanya pada ayah,

”Benarkan ada cinta sejati?”

Waktu itu, ayah menjawab, ”Ada.”

”Di mana?” cecar bundamu.

”Di sini,” jawab ayah sembari menunjuk dada, bukan hati.

Maksudnya adalah cinta yang bersemayam di kalbu. Di ruh kita. Di jiwa kita. Cinta yang (1) mencinta karena cinta kepada-Nya, dan (2) dicinta pun karena cinta kepada-Nya. Tentu saja, cinta monyet tidaklah masuk dalam barisan cinta sejati. Begitu pun dengan cinta berasas nafsu. Ketika cinta kita terpatri hanya kepada Kekasih Yang Maha Tunggal. Kekasih Yang Menyayangi tanpa pilih sayang dan Mengasihi tanpa pilih kasih, maka tak satupun derita akan tumbuh karena cinta.

Waktu itu, bundamu bertanya lagi,

”Lantas mengapa ada gadis yang nyaris bunuh diri hanya karena putus cinta?”

Ayah menjawab sebatas yang ayah tahu, ”Itu karena mereka buta tentang cinta. Mereka baru mengenal cinta dari kulit luarnya. Mereka kurang menyerap dederet fatwa perihal cinta yang luar biasa. Bahwa janganlah kita mencintai seseorang secara berlebihan, boleh jadi suatu ketika ia menjadi sangat kita benci. Pun, jangan sampai kita membenci seseorang dengan benci yang paling benci, jangan sampai suatu ketika benci itu berubah menjadi cinta yang sebenar-benarnya cinta.”

”Ah, bingung.” Sahut bundamu.

Ya, manakala kita sakit tak tertanggungkan karena mencinta seseorang, bukan karena Dia, maka cinta kita itu hanyalah cinta yang fana dan pasti akan binasa. Tetapi, jika kita mencinta hanya semata karena cinta kepad Dia, maka ketika ’sang manusia’ yang kita cintai itu berbalik membenci kita, dunia takkan kiamat, karena kita sadar bahwa ada rahasia ’hebat’ yang disembunyikan oleh-Nya dari peristiwa itu. Jadi, cinta-Nya adalah cinta sebenarnya. Bukan cinta imitasi.

Ada lima tanda-tanda cinta sejati, cahaya mataku. Pertama, selalu mengingat-ingat. Ketika syahadat cinta kita ikrarkan, sejak itu cinta kita total semata kepada-Nya. Total 24 jam. Tanpa sedetik, apalagi semenit, yang terlewati karena lupa mengingat-Nya. Maka, ketika sang doi mengajak ’bercengkerama’ berduaan di tempat hiburan, yang dalam bahasa sekarang disebut ’melepas rindu’, maka kita mengingat betapa Dia melarang kita berdua-duaan. Ketika sang ’idaman hati’ meminta panjar berupa pegangan tangan atau sekadar kecupan sayang di kening, kita sadar bahwa segala perbuatan kita di bawah pengawasan Malaikat, pesuruh-Nya.

Kedua, cahaya mataku, adalah selalu mengagumi. Ketika kita menyatakan deklarasi cinta, maka selalu kita merasa kagum kepada-Nya. Maka, ketika rindu karena lama tak bersua dengan sang ’impian’, kita sadari bahwa yang ganteng dan yang cantik semuanya adalah ciptaan-Nya. Sehingga yang pantas kita kagumi bukanlah yang ganteng dan yang cantik itu, melainkan yang menciptakan kegantengan dan kecantikan itu. Mungkin perlu kamu camkan, cahaya mataku, petuah bijak Buya Hamka, ”Kekaguman tanpa cinta suatu ketika akan melahirkan pemujaan, sedangkan cinta tanpa kekaguman suatu saat akan menjadi pengingkaran.”

Ketiga, cahaya mataku, adalah selalu rela. Rela menjadikan Dia sebagi kekasih. Rela menjadikan Dia sebagai pencipta, pengatur, pemberi perintah dan larangan, pemberi pertolongan dan ampunan. Maka, memintalh hanya kepada-Nya, seperti pun berlindunglah hanya kepada-Nya. Dia adalah Tuan sekaligus sesembahan. Dia adalah kerinduan dan kecintaan. Dia tumpuan dan harapan. Dia segalanya.

Keempat, cahaya mataku, selalu siap berkorban. Karena cinta adalah mengabdi, maka kita yang mencinta-Nya selalu siap untuk mengabdi pada-Nya. Mengabdi dengan ikhlas. Mengabdi sepenuh cinta. Mengabdi tanpa pamrih. Memberi tanpa bermaksud mengharap imbalan yang setimpal apalagi ’hadiah’ yang berlebihan.

Kelima, cahaya mataku, selalu menaati. Ketika kita janji nge-date dengan-Nya, janji itu harus dipenuhi. Manakala kita berjanji untuk setia, janji itu harus ditunaikan. Dengan taat. Taat yang bukan didominasi oleh rasa takut. Taat yang bukan dipuji oleh keinginan dipuji. Taat yang hakiki.

Jadi, cahaya mataku, hakikat cinta sejati adalah mencintai apa dan siapa saja yang dicintai oleh Dia, dan membenci apa dan siapa saja yang dibenci oleh Dia. Dia itulah cinta sejati. Dia yang tak tertangkap oleh indera. Yang tak kasat mata. Yang tak tersentuh secara badani. Dia hanya ada di kalbu kita, di palung jiwa.

Lihat, cahaya mataku, matahari senja sedang berkelahi dengan kaki langit. Sebentar lagi ia pulang kepangkuan malam. Dan, Losari selalu menyisakan kenangan. Merekam jejak sejarah.

Semoga, kita semua, selalu menemukan cinta sejati-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar: