Selasa, 06 Mei 2008

HAK ASASI DAN CINTA

Jeneponto, 11 Juli 2005



Hari ini, cahaya mataku, umurmu genap satu putaran bulan. Banyak yang berubah pada penampilan fisikmu. Matamu semakin lincah mengikuti semua pola gerak yang tertangkap olehmu. Telingamu mulai mampu mendeteksi suara. Dan, tangismu melengking semakin keras membelah cakrawala. Ketika ayah-bundamu, kakek-nenekmu, kerabat-familimu mengajakmu bercanda, kamu sudah bisa tersenyum. Sesekali dekik di pipi sebelah kirimu muncul, memamerkan sejuta pesona. Sungguh, apa saja yang ada pada dirimu selalu menghadirkan cinta tak bertepi dan bahagia tak terkira.


Kono, cahaya mataku, menurut kakek-nenek dari pihak ayahmu, sosokmu hari ini bak pinang dibelah dua dengan sosok ayahmu tiga puluh tahun silam. Lain lagi tanggapan nenekmu dari pihak bundamu, yang baru saja tiba kemarin dari Parung, Kabupaten Bogor, wujudmu sekarang bagai wujud bundamu enambelas tahun lampau.


Tapi, cahaya mataku, kamu tidak mewakili ayahmu, pun tidak mewakili bundamu. Kamu pun tidak mewakili kakek-nenekmu. Bahkan, tidak mewakili para leluhurmu. Kamu adalah kamu. Kamu tetaplah kamu. Kamu adalah kamu sebagai manusia merdeka. Kamu tetaplah kamu sebagai manusia dengan dirinya sendiri. Manusia yang bebas dari ‘koloni’ keluarga atau marga.


Artinya, meminjam istilah Kahlil Gibran, “Anak kita bukanlah milik kita, ia milik kehidupan.”


Jadi, cahaya mataku, pada hakikatnya kamu terlahir merdeka. Seperti juga anak-anak lainnya, mereka terlahir merdeka. Kemerdekaan itu pula yang membedakan kamu dengan makhluk lain, seperti kambing, kerbau, kuda, dan makhluk lainnya. Hak asasi pertama yang dilimpahkan oleh Sang Maha Tukang Cipta untukmu adalah ‘rasa merdeka’. Artinya, kamu bukanlah jajahan ayahmu, pun bukan koloni bundamu.


Hanya saja, cahaya mataku, pada mulanya kemerdekaanmu masih harus tergantung pada kasih sayag bundamu. Meski demikian, karena kasih sayang bundamu itu ikhlas tanpa berharap apa-apa, maka nilai-nilai kemerdekaanmu tidak akan dicemari oleh rasa ketergantungan. Bundamulah pemilik cinta-kasih setingkat di bawah cinta-kasih Allah, sementara cinta-kasih ayahmu malah setingkat di bawah cinta kasih bundamu.


Itulah mengapa sehingga durhaka kepada bundamu adalah dosa terbesar sesudah syirik, dan tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali bundamu telah mengampuninya.


Akan tetapi, cahaya mataku, dibalik niat kemerdekaan itu, ada batasan yang kamu harus indahkan. Batasan itu bukanlah penjara, yang akan mengungkung kebebasanmu. Melainkan penyeimbang agar kamu mengerti, bahwa selain kita punya hak, kita pun memiliki kewajiban. Selain kita akan menerima, kita pun harus ikhlas memberi.


Artinya, harus selalu ada keseimbangan.


Kenyataannya, cahaya mataku, ketidak-seimbangan malah lebih sering terjadi di muka bumi. Sejarah mencatat, sejak manusia mengenal peradaban, terjadilah peras-memeras, tindas-menindas, paksa-memaksa, hisap-menghisap, dan kuasa-menguasai. Semua itu terjadi karena manusia lalai mempertimbangkan keseimbangan memberi dan menerima, keseimbangan hak dan kewajiban.


Dan, cahaya mataku, Fred G. Gosman, seorang peneliti dunia kanak-kanak kenamaan, pernah mengatakan, “Seorang anak yang tidak diberi batasan akan tumbuh menjadi orang yang membenci kebebasan.”


Sementara itu, Ma’ruf Mushthafa Zurayq, psikolog ternama dari Damaskus, berpesan kepada kita, ”Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sejati, jika pada masa kanak-kanaknya dia tidak menjadi seorang anak sejati.”

☼☼☼



Bulan ini, Juli 2005, penduduk negeri ini ramai membincangkan Hari Anak Nasional. Ibu-ibu berdebat seru tentang pola asuh anak yang tepat dalam seminar di hotel-hotel atau gedung-gedung mewah, sementara anaknya sibuk bermain dengan pengasuhnya. Bapak-bapak adu pendapat tentang metode merawat anak hingga larut malam, hingga setelah pulang ke rumah bahkan tidak sempat mengecup kening anaknya, apalagi memberinya kasih sayang. Ibu-ibu dan Bapak-bapak itu bukannya tak punya cinta, mereka malah terlalu cinta. Hanya saja, mereka lalai memaknai cinta, dengan makna seutuhnya.


Tak ada yang salah jika kaum ibu memilih bekerja untuk menopang ekonomi kelaurga. Pun, tak salah jika para bapak banting tulang menghidupi keluarganya. Yang salah adalah ketika mereka tiba pada persimpangan dan kebingungan harus memilih antara cinta kasih dan kemegahan harta. Dan, akan lebih salah lagi, jika mereka lebih memilih kemegahan harta, ketimbang menumbuhkan cinta kasih bersama keluarga. Tetapi, alangkah indahnya, jika keduanya bisa diraih tanpa harus mengorbankan salah satunya.


Maka, tidaklah berlebihan jika Miranda Risang Ayu mengatakan, ”Kehangatan pengasuhan kulit-ke-kulit adalah hak asasi seorang anak kecil, yang bahkan dapat menentukan hidup mati atau kerdil-tidaknya seorang bayi.”


Anehnya, tutur Miranda, tidak sedikit orang tua yang menganggap anak bayinya bagai burung piaraan. Mereka disediakan sangkar yang bagus, diberi pakan yang cukup, dan dijemur pada saat-saat tertentu. Akibatnya? Sang anak menjadi seperti burung piaraan itu. Harus kehilangan kemerdekaan dan kebebasan yang dilimpahkan Allah kepadanya bersama kelahirannya. Oleh orang tuanya, mereka dilimpahi kemewahan. Tapi, mereka tidak merasakan indahnya ’berbagi cerita’, menemukan jawaban pada masa ’penuh pertanyaan’, dan mendapat ’perhatian’ ketika mereka butuh ’diperhatikan’.


Dengan cara seperti inilah mereka menyiapkan generasi masa depan. Generasi terjajah yang kemudian dibebani amanah membangun nusantara. Na’udzu billahi min dzalik.

☼☼☼



Lain lagi, cahaya mataku, dengan kisah tetangga kita, Ibu Khawati, yang memiliki seorang anak laki-laki, sebut saja Baso.


Meski mereka hidup serba kekurangan, tetapi sang anak selalu dilimpahi kasih sayang, bahkan terkadang nampak terlalu berlebih-lebihan. Demi memenuhi hasrat ’jajan’ sang anak, Ibu Khawati rela ’mengabaikan’ anggaran belaja dapurnya. Bahkan, melupakan betapa suaminya mencari nafkah begitu susahnya, menjadi pengayuh becak di Pangkaje’ne, dan hanya pulang ke rumah sekali setiap bulan. Semua kebutuhan anaknya, pasti dicukupinya. Makan, minum, jajan, mainan, semuanya.


Ketika anaknya menangis karena terjatuh dari sepeda sepupunya, maka sepeda dan sepupunya itu yang dituding bersalah. Padahal, sang anaklah yang ’memaksa’ ingin belajar naik sepeda. Dan, Baso pun tumbuh menjadi jagoan jika ibunya ada, dan menjadi pecundang ketika ibunya tak berada di sisinya.
☼☼☼


Di sinilah, cahaya mataku, letak pentingnya ’rasa merdeka’ sebagai hak asasi setiap anak di satu pihak, dan cinta kasih sebagai kewajiban orang tua di pihak lain. Tidak penting benar apakah kita memanjakan anak karena rasa cinta, atau sesuai dengan keinginan anak itu sendiri. Yang penting adalah apakah perlakuan itu tetap menjaga nilai-nilai ’kemerdekaan sang anak?’


Ada beberapa hal yang perlu diakomodasi oleh semua orang tua. Pertama, kesalahan memanjakan anak dapat memenjara kemerdekaan dan kebebasan sang anak. Kedua, kasih sayang yang berlebihan dapat menyeret sang anak pada tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Ketiga, mengambil alih semua urusan anak akan membuat sang anak tidak bisa berbuat apa-apa, selain ’bersembunyi di balik ketiak orang tuanya’.


Kalau semua orang tua di muka bumi ini mau jujur, cahaya mataku, jarang di anatara mereka yang benar-benar mau mendelegasikan urusan kepada anaknya. Kenapa? Karena rata-rata mereka berkutat pada slogan; kami ingin kamu jadi orang. Maka, segala cara pun ditempuh untuk memenuhi ambisi menciptakan orang itu.


Termasuk dengan ’merampas’ kemerdekaan dan kebebasan sang anak.
☼☼☼


Doakan ayahmu ini, cahaya mataku, agar tidak merampas kemerdekaan dan kebebasanmu, meski itu hanya sekejap.


Kecup sayang selalu.

Tidak ada komentar: