Rabu, 30 April 2008

Ma'rencong-rencong, dinihari, dan nasi jagung

05/06/2005


Malam ini, cahaya mataku, telah sembilan bulan lima hari kamu didekap rahim bundamu. Malam ini, waktu lelap dalam semesta senyap. Ada semangat yang diam-diam kukirim untukmu, menyusup ke rahim bundamu. Sesampainya di sana, akan menemanimu berkelakar dengan kelenjar dan otot-otot tak sadar, hanyut dalam arus darah bundamu, berdendang lirih di kandung kemih, bersenda gurau dengan paru dan jantungmu, lalu menina-bobokanmu dengan shalawat badar sampai suaranya bergaung di dinding-dinding lambung.

Dengarlah, cahaya mataku, dengar. Dengarlah riuhnya kokok ayam jantan bersahutan menjelang fajar. Bumi pun segera menggeliat bangun dan tetumbuhan sibuk membasuh diri dengan linangan embun. Sungguh, cahaya mataku, suasana alam seperti ini takkan kamu temukan, jika kelak kamu tumbuh dan besar di kota besar. Ya, cahaya mataku, hanya di desa kita akan temukan peluh waktu gemerincing di ranting-ranting.

Lihat, cahaya mataku, lihatlah. Di timur, matahari mulai berkemas. Sinarnya ruah menyemburat merah. Pertanda pagi mulai berbenah. Rembulan yang begadang sesuntuk malam, kini beringsut limbung ke sebelah barat bukit Bontotangnga. Pada parasnya yang pucat terlihat gurat-gurat isyarat, sebentar lagi akan berkuasa cahaya melebihi cahayanya.

Engkaulah itu, cahaya mataku.

Engkau belahan jiwaku yang selalu kutunggu di kesunyian, dalam serat rindu berlarat-larat. Engkaulah cahaya mataku, yang setiap sepertiga malam Jumat kujemput dengan rerupa ayat al-Qur’an. Dan manakala paruh malam menjelang istirah di kaki lembah, sembari mengusap lembut perut bundamu, ayah selalu berbisik, ”bangunlah nak, kita tahajjud bersama-sama.”

Dengar, cahaya mataku, dengarlah. Nenekmu, Shafia, yang semoga engkau bisa melihatnya dalam tatapan usia belasan, meniupi tungku hingga api menjalar di kayu bakar, mendidihkan air di kuali, menanak nasi jagung dan keratan-keratan rebung, menebar wewangi lapar hingga ke dalam kamar. Sebelum pagi merekah, cahaya mataku, nenekmu itu pun selalu menunggumu dengan dendang riang ma’rencong-rencong. Suaranya yang tak lagi merdu, selalu setia melantun panjang, mendayu sayup bagai tembang kasmaran, menyusup sampai buaian, berharap engkau cahaya mataku, ikut meresapi makna liriknya yang sederhana.

Kelak, cahaya mataku, mungkin engkau tak lagi bersahabat dengan lagu-lagu rakyat, lagu-lagu beraroma tradisional yang amat kental. Ya, seperti ayah-bundamu, yang lebih banyak menikmati lagu-lagu blues, rock, pop, dan juga dangdut. Padahal, cahaya mataku, lagu ma’rencong-rencong itu sarat dengan doa, impian, dan juga harapan. Lagu itu juga mengandung cita-cita, hasrat, dan falsafah hidup. Lantas, ayahmu ini terhenyak oleh kenangan masa bocah yang tiba-tiba saja membuncah.

Ketahuilah, cahaya mataku, nenekmu itu hanya seorang perempuan kampung yang sederhana. Ia bukan aristokrat, apalagi wanita karir. Tapi, ia adalah pejuang tangguh. Meski tak buta huruf, tapi nenekmu fasih berbahasa Indonesia bukan karena ‘makan’ bangku sekolah, melainkan karena keseringan berkomunikasi dengan cucu-cucunya, yang lebih memilih bahasa Melayu sebagai bahasa ibunya, ketimbang bahasa Makassar. Tapi, cahaya mataku, dari rahim perempuan bersahaja itulah ayahmu ini dikandung dan dilahirkan. Dan dinihari ini, lagu purba itu didendangkan untuk bukan untuk ayahmu. Melainkan untukmu, cucunya dari rahim menantu bersuku Sunda. Dan, oleh karena nenekmu tak bisa menghadiri resepsi pernikahan ayah-bundamu, maka kelahiranmu ri butta Turatea adalah anugerah tak terkira baginya.

Lewat lagu rakyat itu, cahaya mataku, nenekmu ingin menjalin komunikasi denganmu. Ingin berbagi cinta, berbagi kasih, dan berbagi sayang. Ketahuilah, cahaya mataku, kelak jika engkau telah dewasa, engkau akan mengetahui arti dan makna komunikasi. Ya, tak ada satu pun ruang dalam hidup kita yang luput dari komunikasi. Setiap hari, dengan berbagai cara, kita berkomunikasi. Melalui komunikasi, kita dapat menyampaikan keinginan kita, pikiran kita, perasaan kita, dan apa saja yang mengendap di benak kita. Pun juga kebahagiaan, kesenangan, kesengsaraan, dan kesedihan kita.

Dan, cara nenekmu mengajakmu berkomunikasi, sangat sederhana. Hanya lewat selarik kidung rakyat, kidung yang mungkin tak bakal dilirik produser rekaman, karena miskin daya jual dan tidak menarik minat beli.

Sungguh, cahaya mataku, nenekmu pun sangat ingin memberimu asupan makanan dengan gizi berimbang, tetapi di ranah gersang ini, nasi beras bercampur jagung sudah terasa istimewa. Selain itu, ahaya mataku, baik kakek-nenekmu, juga yah-bundamu, tak sanggup beli beras, karena harga sembako yang melambung setinggi langit.

Semoga, cahaya mataku, engkau tidak terlahir sebagai bayi kurang gizi.

¤¤¤

Lihat, cahaya mataku, lihatlah. Bundamu terjaga dalam kecantikan tak terperi, beranjak tenang ke tepi ranjang, mengelus dirimu perlahan, seraya berbisik, ”Tetaplah tidur anakku, biar bunda berjaga di luar tidurmu.”

Begitulah cara bundamu manakala ingin berkomunikasi denganmu. Mungkin terasa amat sederhana, tetapi, tetap saja komunikasi itu menjadi pernyataan cinta seorang ibunda kepada cahaya matanya.

Ya, baik ayahmu pun juga bundamu, selalu tergetar menahan rindu untuk segera meminangmu.

Ketahuilah, cahaya mataku, ketahulaih. Nun, di sebuah kampung kecil, Borongtammatea, engkau selalu menggelinjang setiap subuh meregang, menepis lesu menangkis sayu, berharap kesegaran tumbuh di sekujur tubuh. Dan bundamu, yang membuaimu dalam tenang tanpa keluh, menyegarkan badan dengan pandangan berbinar secerah fajar. Sejenak lagi azan subuh berkumandang. Matahari berkemas, bangkit dari tidur dan melesakkan berjuta lembing cahaya ke haribaan jagat raya. Tumbuhan dan binatang menggeliat terjaga. Segalanya tampak gilang gemilang.

Kelak, engkau pasti akan mengerti betapa indahnya menunggu kedatangan orang yang dirindu.

Kelak, cahaya mataku, tulisan ini semoga jadi pengurai ingatan masa kecilmu. Melarik kenangan tentang dinihari, ma’rencong-rencong, nenekmu, dan sarapan nasi jagung.

Sederhana, memang. Bersahaja, ya. Tapi penuh dengan cinta.

Tidak ada komentar: