Rabu, 30 April 2008

ATAS NAMA CINTA

01/06/2005


Tidur, cahaya mataku, tidurlah tenang. Tidurlah tenang dalam lembut rahim bundamu. Mungkin kamu sudah tak sabar terkungkung dalam dunia sempitmu. Tapi, sabarlah. Ya, sabarlah. Kelak, engkau pasti akan mengejuti isi bumi dengan dahsyat tangis pertamamu. Malam ini, tetaplah tenang di rahim bundamu.

Ketahuilah, cahaya mataku, dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman:

”Akulah Tuhan dan Aku Yang Maha Pengasih. Aku ciptakan rahim dan aku berikan padanya sebuah nama yang berasal dari namaku sendiri ...” (H.R. Ahmad ibn Hanbal)

Apakah makna hadis qudsi itu, cahaya mataku? Jelas, dengan gamblang Allah menegaskan bahwa dalam diri setiap perempuan, bukan hanya hatinya yang memiliki potensi untuk menyalurkan cinta-Nya, tetapi juga rahimnya.

Mengapa Allah menamakan tempatmu kini bermukim itu ”rahim”? Bukan ”rahman” atau nama yang lain? Karena rahim, menurut ahli bahasa Arab, berasal dari akar yang sama dengan rasa belas kasih, rasa sayang, dan rasa selalu ingin melindungi. Jadi, adalah hal alami, jika bundamu menjadikan dirinya sumber kasih sayang bagimu, seperti halnya Allah menjadi sumber kasih sayang bagi jagat raya beserta seluruh isinya ini.

Bahkan, cahaya mataku, proses mengandung merupakan sebuah jalan spiritual bagi bundamu untuk menumbuhkan sifat Allah dalam dirinya. Rasa lemah selama kehamilan menjadi tak terasa karena keikhlasan mencinta dan keinginan berserah hanya kepada Allah. Kekuatan hati yang bersandar hanya kepada Allah ini berpengaruh besar pada harapan bundamu, terutama pada keselamatan dan kesehatanmu. Sungguh, sebagai lelaki, ayahmu tidak akan pernah dikaruniai pengalaman mahal itu.

Cahaya mataku, mungkin kelak kamu bertanya, ”Lalu, apa saja peran ayah selama proses kehamilan?”

Peran ayah, cahaya mataku, tidaklah sebanding dengan saham bundamu, yang membawamu ke mana saja, kapan saja, dan di mana saja. Ayahmu ini, saban hari hanya bisa melantunkan doa-doa. Berharap, semoga isteri dan janinnya selamat, itu saja. Tak lebih, tak kurang. Ayahmu ini, cahaya mataku, setiap hari hanya bisa membesarkan hati bundamu, supaya kelemahan yang menyertai kehamilannya tidak mengganggu kestabilan emosi bundamu. Itulah mengapa sehingga surga itu berada di telapak kaki bundamu, bukan di tapak kaki ayahmu.

Maka, sayangilah bundamu, cahaya mataku. Sebagaimana sayangnya ia padamu, sewaktu kamu dalam dekap rahimnya.

¤¤¤

Sungguh, cahaya mataku, hari-hari penantian kelahiranmu serasa berjalan amat lamban. Setiap hari ayah terbebani rerupa pikiran dan beribu kecemasan. Bagaimana kelak kira-kira rupamu? Akankah seperti bundamu, ayahmu, kakek-nenekmu, atau entah siapa? Begitu pun sifatmu, akan semirip siapa? Apa saja kekurangan-kekuranganmu? Apa saja kelebihan-kelebihanmu? Mancung atau pesekkah hidungmu? Hitam atau putihkah kulitmu? Apakah ada dekik di pipimu laksana lesung pipi bundamu?

Dan seterusnya, dan sebagainya.

Setiap malam, dan seterusnya dan sebagainya itu, selalu menari di benak ayah. Meski sebenarnya bagi ayah, dan juga bundamu, kamu adalah kamu. Bukankah di muka bumi ini, tak ada satu pun manusia yang sama persis dengan manusia lainnya, bahkan kembar siam sekali pun? Dan ketidaksamaan itu, menurut pala ahli waris nabi, adalah salah satu tanda kebesaran dan kehebatan Yang Maha Bisa Segalanya.

Selain itu, cahaya mataku, ayahmu yang hingga kini masih bertahan dalam status ’penganggur’, saban malam dibingungkan oleh kata-kata: bagaimana, berapa, dan dari mana kelak biaya kelahiranmu. Itulah mengapa ayahmu yang miskin ini, memilih kamu dilahirkan di Jeneponto, bukan di Bogor. Karena, cahaya mataku, di sini biaya persalinan relatif murah, masih terjangkau. Sementara di Bogor, biaya persalinan (seperti yang ayah dengar dari Iwan Fals) tersangkut di awan-awan.

Tapi, cahaya mataku, kekhawatiran ayahmu ini, tidak pernah dibiarkan membias di raut wajah. Bukan karena ayah tinggi hati, tak lebih karena ayah tak mau bundamu was-was dan tidak tenang. Ya, dibanding kebingungan-kebingungan itu, ayah lebih mementingkan keselamatan bundamu, dan tentu saja: kamu.

Meski begitu, cahaya mataku, ayah selalu percaya bahwa Yang Bisa Apa Saja selalu menjamin tersedianya rejeki bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kehidupan, bahkan binatang melata sekali pun.

¤¤¤

Tidurlah, cahaya mataku, tidurlah tenang. Atas nama cinta, ayah-bundamu akan selalu berjaga. Dan, terjaga. Menjagamu. Atas nama Allah, ayah-bundamu senantiasa rindu menunggu hari lahirmu.

Tidak ada komentar: