Selasa, 06 Mei 2008

HAK ASASI DAN CINTA

Jeneponto, 11 Juli 2005



Hari ini, cahaya mataku, umurmu genap satu putaran bulan. Banyak yang berubah pada penampilan fisikmu. Matamu semakin lincah mengikuti semua pola gerak yang tertangkap olehmu. Telingamu mulai mampu mendeteksi suara. Dan, tangismu melengking semakin keras membelah cakrawala. Ketika ayah-bundamu, kakek-nenekmu, kerabat-familimu mengajakmu bercanda, kamu sudah bisa tersenyum. Sesekali dekik di pipi sebelah kirimu muncul, memamerkan sejuta pesona. Sungguh, apa saja yang ada pada dirimu selalu menghadirkan cinta tak bertepi dan bahagia tak terkira.


Kono, cahaya mataku, menurut kakek-nenek dari pihak ayahmu, sosokmu hari ini bak pinang dibelah dua dengan sosok ayahmu tiga puluh tahun silam. Lain lagi tanggapan nenekmu dari pihak bundamu, yang baru saja tiba kemarin dari Parung, Kabupaten Bogor, wujudmu sekarang bagai wujud bundamu enambelas tahun lampau.


Tapi, cahaya mataku, kamu tidak mewakili ayahmu, pun tidak mewakili bundamu. Kamu pun tidak mewakili kakek-nenekmu. Bahkan, tidak mewakili para leluhurmu. Kamu adalah kamu. Kamu tetaplah kamu. Kamu adalah kamu sebagai manusia merdeka. Kamu tetaplah kamu sebagai manusia dengan dirinya sendiri. Manusia yang bebas dari ‘koloni’ keluarga atau marga.


Artinya, meminjam istilah Kahlil Gibran, “Anak kita bukanlah milik kita, ia milik kehidupan.”


Jadi, cahaya mataku, pada hakikatnya kamu terlahir merdeka. Seperti juga anak-anak lainnya, mereka terlahir merdeka. Kemerdekaan itu pula yang membedakan kamu dengan makhluk lain, seperti kambing, kerbau, kuda, dan makhluk lainnya. Hak asasi pertama yang dilimpahkan oleh Sang Maha Tukang Cipta untukmu adalah ‘rasa merdeka’. Artinya, kamu bukanlah jajahan ayahmu, pun bukan koloni bundamu.


Hanya saja, cahaya mataku, pada mulanya kemerdekaanmu masih harus tergantung pada kasih sayag bundamu. Meski demikian, karena kasih sayang bundamu itu ikhlas tanpa berharap apa-apa, maka nilai-nilai kemerdekaanmu tidak akan dicemari oleh rasa ketergantungan. Bundamulah pemilik cinta-kasih setingkat di bawah cinta-kasih Allah, sementara cinta-kasih ayahmu malah setingkat di bawah cinta kasih bundamu.


Itulah mengapa sehingga durhaka kepada bundamu adalah dosa terbesar sesudah syirik, dan tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali bundamu telah mengampuninya.


Akan tetapi, cahaya mataku, dibalik niat kemerdekaan itu, ada batasan yang kamu harus indahkan. Batasan itu bukanlah penjara, yang akan mengungkung kebebasanmu. Melainkan penyeimbang agar kamu mengerti, bahwa selain kita punya hak, kita pun memiliki kewajiban. Selain kita akan menerima, kita pun harus ikhlas memberi.


Artinya, harus selalu ada keseimbangan.


Kenyataannya, cahaya mataku, ketidak-seimbangan malah lebih sering terjadi di muka bumi. Sejarah mencatat, sejak manusia mengenal peradaban, terjadilah peras-memeras, tindas-menindas, paksa-memaksa, hisap-menghisap, dan kuasa-menguasai. Semua itu terjadi karena manusia lalai mempertimbangkan keseimbangan memberi dan menerima, keseimbangan hak dan kewajiban.


Dan, cahaya mataku, Fred G. Gosman, seorang peneliti dunia kanak-kanak kenamaan, pernah mengatakan, “Seorang anak yang tidak diberi batasan akan tumbuh menjadi orang yang membenci kebebasan.”


Sementara itu, Ma’ruf Mushthafa Zurayq, psikolog ternama dari Damaskus, berpesan kepada kita, ”Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sejati, jika pada masa kanak-kanaknya dia tidak menjadi seorang anak sejati.”

☼☼☼



Bulan ini, Juli 2005, penduduk negeri ini ramai membincangkan Hari Anak Nasional. Ibu-ibu berdebat seru tentang pola asuh anak yang tepat dalam seminar di hotel-hotel atau gedung-gedung mewah, sementara anaknya sibuk bermain dengan pengasuhnya. Bapak-bapak adu pendapat tentang metode merawat anak hingga larut malam, hingga setelah pulang ke rumah bahkan tidak sempat mengecup kening anaknya, apalagi memberinya kasih sayang. Ibu-ibu dan Bapak-bapak itu bukannya tak punya cinta, mereka malah terlalu cinta. Hanya saja, mereka lalai memaknai cinta, dengan makna seutuhnya.


Tak ada yang salah jika kaum ibu memilih bekerja untuk menopang ekonomi kelaurga. Pun, tak salah jika para bapak banting tulang menghidupi keluarganya. Yang salah adalah ketika mereka tiba pada persimpangan dan kebingungan harus memilih antara cinta kasih dan kemegahan harta. Dan, akan lebih salah lagi, jika mereka lebih memilih kemegahan harta, ketimbang menumbuhkan cinta kasih bersama keluarga. Tetapi, alangkah indahnya, jika keduanya bisa diraih tanpa harus mengorbankan salah satunya.


Maka, tidaklah berlebihan jika Miranda Risang Ayu mengatakan, ”Kehangatan pengasuhan kulit-ke-kulit adalah hak asasi seorang anak kecil, yang bahkan dapat menentukan hidup mati atau kerdil-tidaknya seorang bayi.”


Anehnya, tutur Miranda, tidak sedikit orang tua yang menganggap anak bayinya bagai burung piaraan. Mereka disediakan sangkar yang bagus, diberi pakan yang cukup, dan dijemur pada saat-saat tertentu. Akibatnya? Sang anak menjadi seperti burung piaraan itu. Harus kehilangan kemerdekaan dan kebebasan yang dilimpahkan Allah kepadanya bersama kelahirannya. Oleh orang tuanya, mereka dilimpahi kemewahan. Tapi, mereka tidak merasakan indahnya ’berbagi cerita’, menemukan jawaban pada masa ’penuh pertanyaan’, dan mendapat ’perhatian’ ketika mereka butuh ’diperhatikan’.


Dengan cara seperti inilah mereka menyiapkan generasi masa depan. Generasi terjajah yang kemudian dibebani amanah membangun nusantara. Na’udzu billahi min dzalik.

☼☼☼



Lain lagi, cahaya mataku, dengan kisah tetangga kita, Ibu Khawati, yang memiliki seorang anak laki-laki, sebut saja Baso.


Meski mereka hidup serba kekurangan, tetapi sang anak selalu dilimpahi kasih sayang, bahkan terkadang nampak terlalu berlebih-lebihan. Demi memenuhi hasrat ’jajan’ sang anak, Ibu Khawati rela ’mengabaikan’ anggaran belaja dapurnya. Bahkan, melupakan betapa suaminya mencari nafkah begitu susahnya, menjadi pengayuh becak di Pangkaje’ne, dan hanya pulang ke rumah sekali setiap bulan. Semua kebutuhan anaknya, pasti dicukupinya. Makan, minum, jajan, mainan, semuanya.


Ketika anaknya menangis karena terjatuh dari sepeda sepupunya, maka sepeda dan sepupunya itu yang dituding bersalah. Padahal, sang anaklah yang ’memaksa’ ingin belajar naik sepeda. Dan, Baso pun tumbuh menjadi jagoan jika ibunya ada, dan menjadi pecundang ketika ibunya tak berada di sisinya.
☼☼☼


Di sinilah, cahaya mataku, letak pentingnya ’rasa merdeka’ sebagai hak asasi setiap anak di satu pihak, dan cinta kasih sebagai kewajiban orang tua di pihak lain. Tidak penting benar apakah kita memanjakan anak karena rasa cinta, atau sesuai dengan keinginan anak itu sendiri. Yang penting adalah apakah perlakuan itu tetap menjaga nilai-nilai ’kemerdekaan sang anak?’


Ada beberapa hal yang perlu diakomodasi oleh semua orang tua. Pertama, kesalahan memanjakan anak dapat memenjara kemerdekaan dan kebebasan sang anak. Kedua, kasih sayang yang berlebihan dapat menyeret sang anak pada tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Ketiga, mengambil alih semua urusan anak akan membuat sang anak tidak bisa berbuat apa-apa, selain ’bersembunyi di balik ketiak orang tuanya’.


Kalau semua orang tua di muka bumi ini mau jujur, cahaya mataku, jarang di anatara mereka yang benar-benar mau mendelegasikan urusan kepada anaknya. Kenapa? Karena rata-rata mereka berkutat pada slogan; kami ingin kamu jadi orang. Maka, segala cara pun ditempuh untuk memenuhi ambisi menciptakan orang itu.


Termasuk dengan ’merampas’ kemerdekaan dan kebebasan sang anak.
☼☼☼


Doakan ayahmu ini, cahaya mataku, agar tidak merampas kemerdekaan dan kebebasanmu, meski itu hanya sekejap.


Kecup sayang selalu.

Jumat, 02 Mei 2008

Makassar, 10/09/2005


Coba tengadah, cahaya mataku, pandanglah bebaris awan. Mereka berarak rapi mengundang angin. Lihatlah burung-burung yang terbang rendah, melayah di sela bukit. Bergegas menuju sarang senja. Lihatlah matahari yang bertengger sejengkal di atas ambang cakrawala. Pulau Kayangan yang bertabur warna kuning keemasan. Dan Pantai Losari mulai dikerubuti para penjaja. Sungguh, barangkali kelak kamu masih bisa mencecap pisang epe di kaki senja. Enak, nak.

Hari ini, matahari ke seratus duapuluh yang telah kamu jalani, cahaya mataku. Tiga putaran bulan kamu selasari sejarah kehidupan baru. Telahkah kamu kenali cinta, cahaya mataku? Tahukah kamu hakekat cinta sejati? Tahukah kamu makna cinta hakiki? Tahukah kamu bagaimana mengeja cinta abadi? Sungguh, cahaya mataku, cinta yang hakiki, sejati dan abadi, tak pernah mampu kita selami, selama kita masih memenjara hati dengan memelihara rerupa cinta-cinta dunia.

Ayahmu ini, cahaya mataku, bukanlah seorang pujangga yang mampu merangkai kata sedemikian indah. Atahmu ini pun bukan seorang sastrawan yang piawai memainkan kata-kata. Ayahmu ini juga bukanlah seorang guru bahasa yang mengerti betul tata krama menulis dan struktur bahasa. Ayahmu ini hanya seorang manusia biasa, yang ’kebetulan’ bisa membaca, apalagi membaca cinta. Ayahmu ini hanya seorang pencinta kata-kata. Ayahmu ini hanya penikmat sastra, yang sesekali menggumam lirih membaca puisi yang indah dan sarat makna.

Tapi, cahaya mataku, ayahmu ini ingin berbagi tahu. Pengetahuan tentang cinta. Bukan karena ayahmu ini serba tahu perihal cinta dari a sampai z. Bukan pula karena merasa paling mengerti tentang cinta. Apalagi sampai merasa ’sok tahu’. Semoga Sang Pemilik Segala Cinta memberi cinta yang selalu berlebih. Yang jelas, ayah hanya ingin memberi secercah pencerah. Ayah ’ngeri’, jangan sampai kelak kamu mengeja makna cinta dari beribu sinetron Indonesia. Tak ada maksud ayahmu ini apriori terhadap sinetron anak bangsa, apalagi membencinya. Ayah hanya miris dengan penetrasi cinta menurut versi sinetron Indonesia, yang porsinya lebih pada ’kelas tinggi’, selingkuh, rebutan cinta, atau rumah gedong yang kering kasih sayang.

Bukan cinta ’monyet’ yang hendak kita bahas di sini, cahaya mataku, melainkan cinta yang hakiki. Cinta sejati. Cinta tanpa tandingan. Cinta tanpa pembanding. Cinta yang dibangun berdasarkan syariat dengan iman sebagai podasinya. Bukan yang tidak mengikuti syariat dan dibangun atas nama syahwat. Dulu, sewaktu bundamu masih berstatus calon bundamu, ia sempat bertanya pada ayah,

”Benarkan ada cinta sejati?”

Waktu itu, ayah menjawab, ”Ada.”

”Di mana?” cecar bundamu.

”Di sini,” jawab ayah sembari menunjuk dada, bukan hati.

Maksudnya adalah cinta yang bersemayam di kalbu. Di ruh kita. Di jiwa kita. Cinta yang (1) mencinta karena cinta kepada-Nya, dan (2) dicinta pun karena cinta kepada-Nya. Tentu saja, cinta monyet tidaklah masuk dalam barisan cinta sejati. Begitu pun dengan cinta berasas nafsu. Ketika cinta kita terpatri hanya kepada Kekasih Yang Maha Tunggal. Kekasih Yang Menyayangi tanpa pilih sayang dan Mengasihi tanpa pilih kasih, maka tak satupun derita akan tumbuh karena cinta.

Waktu itu, bundamu bertanya lagi,

”Lantas mengapa ada gadis yang nyaris bunuh diri hanya karena putus cinta?”

Ayah menjawab sebatas yang ayah tahu, ”Itu karena mereka buta tentang cinta. Mereka baru mengenal cinta dari kulit luarnya. Mereka kurang menyerap dederet fatwa perihal cinta yang luar biasa. Bahwa janganlah kita mencintai seseorang secara berlebihan, boleh jadi suatu ketika ia menjadi sangat kita benci. Pun, jangan sampai kita membenci seseorang dengan benci yang paling benci, jangan sampai suatu ketika benci itu berubah menjadi cinta yang sebenar-benarnya cinta.”

”Ah, bingung.” Sahut bundamu.

Ya, manakala kita sakit tak tertanggungkan karena mencinta seseorang, bukan karena Dia, maka cinta kita itu hanyalah cinta yang fana dan pasti akan binasa. Tetapi, jika kita mencinta hanya semata karena cinta kepad Dia, maka ketika ’sang manusia’ yang kita cintai itu berbalik membenci kita, dunia takkan kiamat, karena kita sadar bahwa ada rahasia ’hebat’ yang disembunyikan oleh-Nya dari peristiwa itu. Jadi, cinta-Nya adalah cinta sebenarnya. Bukan cinta imitasi.

Ada lima tanda-tanda cinta sejati, cahaya mataku. Pertama, selalu mengingat-ingat. Ketika syahadat cinta kita ikrarkan, sejak itu cinta kita total semata kepada-Nya. Total 24 jam. Tanpa sedetik, apalagi semenit, yang terlewati karena lupa mengingat-Nya. Maka, ketika sang doi mengajak ’bercengkerama’ berduaan di tempat hiburan, yang dalam bahasa sekarang disebut ’melepas rindu’, maka kita mengingat betapa Dia melarang kita berdua-duaan. Ketika sang ’idaman hati’ meminta panjar berupa pegangan tangan atau sekadar kecupan sayang di kening, kita sadar bahwa segala perbuatan kita di bawah pengawasan Malaikat, pesuruh-Nya.

Kedua, cahaya mataku, adalah selalu mengagumi. Ketika kita menyatakan deklarasi cinta, maka selalu kita merasa kagum kepada-Nya. Maka, ketika rindu karena lama tak bersua dengan sang ’impian’, kita sadari bahwa yang ganteng dan yang cantik semuanya adalah ciptaan-Nya. Sehingga yang pantas kita kagumi bukanlah yang ganteng dan yang cantik itu, melainkan yang menciptakan kegantengan dan kecantikan itu. Mungkin perlu kamu camkan, cahaya mataku, petuah bijak Buya Hamka, ”Kekaguman tanpa cinta suatu ketika akan melahirkan pemujaan, sedangkan cinta tanpa kekaguman suatu saat akan menjadi pengingkaran.”

Ketiga, cahaya mataku, adalah selalu rela. Rela menjadikan Dia sebagi kekasih. Rela menjadikan Dia sebagai pencipta, pengatur, pemberi perintah dan larangan, pemberi pertolongan dan ampunan. Maka, memintalh hanya kepada-Nya, seperti pun berlindunglah hanya kepada-Nya. Dia adalah Tuan sekaligus sesembahan. Dia adalah kerinduan dan kecintaan. Dia tumpuan dan harapan. Dia segalanya.

Keempat, cahaya mataku, selalu siap berkorban. Karena cinta adalah mengabdi, maka kita yang mencinta-Nya selalu siap untuk mengabdi pada-Nya. Mengabdi dengan ikhlas. Mengabdi sepenuh cinta. Mengabdi tanpa pamrih. Memberi tanpa bermaksud mengharap imbalan yang setimpal apalagi ’hadiah’ yang berlebihan.

Kelima, cahaya mataku, selalu menaati. Ketika kita janji nge-date dengan-Nya, janji itu harus dipenuhi. Manakala kita berjanji untuk setia, janji itu harus ditunaikan. Dengan taat. Taat yang bukan didominasi oleh rasa takut. Taat yang bukan dipuji oleh keinginan dipuji. Taat yang hakiki.

Jadi, cahaya mataku, hakikat cinta sejati adalah mencintai apa dan siapa saja yang dicintai oleh Dia, dan membenci apa dan siapa saja yang dibenci oleh Dia. Dia itulah cinta sejati. Dia yang tak tertangkap oleh indera. Yang tak kasat mata. Yang tak tersentuh secara badani. Dia hanya ada di kalbu kita, di palung jiwa.

Lihat, cahaya mataku, matahari senja sedang berkelahi dengan kaki langit. Sebentar lagi ia pulang kepangkuan malam. Dan, Losari selalu menyisakan kenangan. Merekam jejak sejarah.

Semoga, kita semua, selalu menemukan cinta sejati-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab.

SEJARAH CINTA

11/06/2005

Bulan menyempurnakan cahayanya, cahaya mataku, ketika ia melintas di jendela. Ia bergegas nangkring di pucuk-pucuk daun turi. Ia melintas dengan cahaya emas, yang ruahnya membentang seluas cakrawala. Ia mengajak serangga bercengkerama, bernyanyi bersama-sama. Ia mengajak kita, jangan tidur terlalu sore. Cahayanya yang emas seakan menebas: ayo kurangi tidur dengan berjaga. Atau: hati-hati, selalu banyak bencana bagi mereka yang lena. Dan, itulah sehingga ayah malam ini setia berjaga. Demi kamu, bulanku, yang diramal bidan akan segera nongol mengejutkan bumi.

Bundamu masih dengan terusan kain sulaman, bersimpuh di atas sajadah. Sesekali terdengar samar keciap bibirnya. Ia menundukkan kepala, khusyuk melapalkan doa. Redup matanya perlambang doa yang dilantun sepenuh pinta. Lirih doanya dijejer, memeram suka-duka mengandungmu menjadi gairah menyala. Ayah hanya memandanginya, tanpa kata-kata. Cemas bergegas menjelang dengan lekas. Ah, beginikah rasanya menunggu kelahiran anak pertama? Tak bisa mengeja indahnya cahaya. Rembulan merah selebar tampah, seakan kehilangan pesona. Gemerlap gemintang dan kunang-kunang menguning, seperti kehilangan simpati. Hanya satu yang mengendap di dada, cahaya mataku, hanya satu. Sesuatu bernama cemas.

Gelap malam, cahaya mataku, belum lagi suluruhnya luruh. Tangan-tangan malam yang perkasa menyergap cemasku seketika. Bundamu menggapai-gapai dengan tangannya yang tak sampai. Gelagapan, sampai tak sampai.

”Ayah, sekarang, ayah.”

Bergegas kutangkup tangannya lekas-lekas. Meremas simpul jemarinya dengan perlahan. Berharap bisa berbagi ketenangan dan bertukar kecemasan. Betapa tidak, engkau bakal lahir justru ketika ayahmu ini tak mencekal bahkan sekeping logam lima ratusan. Duh, bagaimana engkau menantang sejarah?

☼☼☼

”Kenapa diam saja, yah. Ayo ke rumah bidan....?”

Suara lirih bundamu malah seperti geletar cemeti petir, menyambar hingar-bingar di telingaku. Mendadak seperti angin puting beliung yang datang menciut-ciut.

”Sabar, bunda. Ayah cari ojek dulu, yah?”

Tanpa menunggu anggukan setuju bundamu selesai, ayah bergegas ke rumah Daeng Siruwa. Tengah malam buta, pukul dua, tanpa uang sepeser pun, butuh nyali lebih untuk membangunkan tukang ojek, meski ayah mengenal dan akrab dengannya. Tapi, demi kamu cahaya mataku, telah putus urat malu ayah, berganti urat nekad yang memancang kokoh di sela tulang belulang. Sungguh, modal awalnya adalah nekad, selebihnya serupa tawakkal. Ayah percaya, setiap manusia dibekali dengan rejeki masing-masing, Begitu pun kamu, cahaya mataku, telah menunggu rejekimu, biarpun itu di tengah malam buta. Dinihari pukul dua.

Ayah tiba di rumah Daeng Siruwa, tertegun melihat lampu di beranda tak menebar nyala. Celingak-celinguk ayah memastikan jangan-jangan masih ada yang terjaga. Ayah tebarkan apndang ke suluruh penjuru rumah, tak terlihat apa-apa. Ayah kemasi semua nyali yang tersisa dan menggumpal di dada. Ya, mau atau tidak, ayah harus membangunkan Daeng Siruwa. Toh, hal yang mustahil jika ayah harus menggendong bundamu ke rumah bidan Susan, yang terpisah sejauh dua puluh kilo dari rumah kakekmu.

”Assalamu’alaikum, tabek daeng...”

Tak ada sahutan, sepatah pun kata. Kuulang sekali, sambil lirih melantunkan bait-bait doa. Dengan suara lebih nyaring dan ketukan di pintu yang lebih keras, kukemas harap sekali lagi.

”Assalamu’alaikum, Daeng Siruwa?”

Tak ada jawaban, kecuali lirih dendang belalang dan pekik jangkrik. Diam-diam ayah melangkah ke jendela, tepat di kamar Daeng Marewa. Lantai yang dari papan berderit-deret menyertai langkah yang diseret-seret pelan. Rumah berbentuk panggung, dengan kolong setinggi satu setengah meter, bergoyang digadang angin. Ah, belum juga terjaga Daeng Marewa.

Setelah rasa putus asa datang menyapa, ayah putuskan untuk mencari tukang ojek yang lain. Di kampung sebelah, yang berjarak lima ratus meter. Dengan lemas, ayah menapak anak-anak tangga. Lekas-lekas, bergegas.

”Siapa di luar?”

Tiba-tiba saja sebuah teriakan bergema di malam senyap.

”Saya, Daeng Marewa. Maaf mengganggu.”

Lalu, terdengar langah limbung diayun menuju daun pintu. Berderit, dan menyembul muka yang terlihat kumal dan gumpal.

”Ada apa, daeng?” tanya Dang Siruwa sembari mengucek-ngucek mata sipitnya.

”Istri saya mau melahirkan, tolong diantar ke rumah bidan Susan.”

”Sekarang, daeng?”
”Iya,” sahut ayah, ”kalau besok nanti keburu lahir.”

”Tunggu di rumahta saja, daeng. Nanti saya menyusul.”

Alhamdulillah, syukur menggerung di hati, menerobos kerongkong dan melejit ke angkasa. Begitulah, jika Tuhan sudah berkehendak, tak ada satu pun makhluk-Nya yang kuasa menentang. Begitulah, cahaya mataku, mana kala takdir sudah ditentukan, dinihari pukul dua pun tetap saja ada perwakilan Tuhan yang mau memberikan bantuan. Jadi, mengapa kita selalu memilih lalai dari bersyukur pada pemberian Tuhan? Tidak seperti malam, bumi dan langit yang setia melebur diri, tepekur dalam sunyi?

Sungguh, apa yang bakal terjadi di sebalik langit yang nyaris runtuh didentur arak-arakan badik pertanyaan yang menggemuruh? Apakah istriku bisa melahirkan dengan selamat? Bisakah aku nanti mendengar jerit tangis dan pecentang kaki bayiku menendang-nendang dunia? Laki-lakikah ia? Perempuankah ia? Putihkah parasnya? Mancungkah hidungnya? Ah, ah, ah! Lagi-lagi tanda tanya berbaris rapi, antri di hati.

Dan, di bawah curah cahaya bulan, bundamu menunggu bersama seraut cemar menggurat di keningnya. Matanya, begitulah ia merawat cemas, yang tersingkap ditarik-tarik angin, tercabik-cabik. Mulutnya komat-kamit melafalkan doa. Seperti berdendang tentang mantra sakti, berharap selamat luput dari bahaya. Semoga ilmu hitam orang-orang penuh dengki, jampi-jampi orang-orang yang irihati, guna-guna mereka yang syirik, semuanya lumpuh dan sirna. Tak berdaya.

Ayah merengkuh bahu bundamu. Menularkan semangat yang tak terkata. Berbagi bahagia dari pendar cahaya mata.

”Tenang, bunda. Ini malam anak kita akan lahir dengan selamat.”

Tangis membuncah di telaga mata. Hendak meruah. Tapi ayah mencegah dengan segala cara. Ayah tahu, sedikit saja cemas membayang di wajah ayah yang pias, bundamu pasti akan lebih gelisah.

Begitulah nak, kisah semalam sebelum engkau bertandang ke dunia, ayah dan bundamu berserah dikepung gelisah. Pasrah. Semata hanya kepada Tuhan kami berserah. Kami tak pernah ragu, engkau pasti lahir bersama rejekimu sendiri. Engkau pasti lahir bersama peruntunganmu sendiri. Dan, keyakinan itu membuncah, menuntun kami melangkah dengan pasti.

Jika percaya pada pertolongan Tuhan, pertolongan itu akan selalu datang dengan tiba-tiba. Dari segala arah yang tidak pernah kita kira. Selalu begitu.
Kelak, jika engkau dewasa, bacalah ceracau ayah ini untuk menyanggah sejarah. Sejarah kelahiranmu. Sejarah cinta.

Rabu, 30 April 2008

ATAS NAMA CINTA

01/06/2005


Tidur, cahaya mataku, tidurlah tenang. Tidurlah tenang dalam lembut rahim bundamu. Mungkin kamu sudah tak sabar terkungkung dalam dunia sempitmu. Tapi, sabarlah. Ya, sabarlah. Kelak, engkau pasti akan mengejuti isi bumi dengan dahsyat tangis pertamamu. Malam ini, tetaplah tenang di rahim bundamu.

Ketahuilah, cahaya mataku, dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman:

”Akulah Tuhan dan Aku Yang Maha Pengasih. Aku ciptakan rahim dan aku berikan padanya sebuah nama yang berasal dari namaku sendiri ...” (H.R. Ahmad ibn Hanbal)

Apakah makna hadis qudsi itu, cahaya mataku? Jelas, dengan gamblang Allah menegaskan bahwa dalam diri setiap perempuan, bukan hanya hatinya yang memiliki potensi untuk menyalurkan cinta-Nya, tetapi juga rahimnya.

Mengapa Allah menamakan tempatmu kini bermukim itu ”rahim”? Bukan ”rahman” atau nama yang lain? Karena rahim, menurut ahli bahasa Arab, berasal dari akar yang sama dengan rasa belas kasih, rasa sayang, dan rasa selalu ingin melindungi. Jadi, adalah hal alami, jika bundamu menjadikan dirinya sumber kasih sayang bagimu, seperti halnya Allah menjadi sumber kasih sayang bagi jagat raya beserta seluruh isinya ini.

Bahkan, cahaya mataku, proses mengandung merupakan sebuah jalan spiritual bagi bundamu untuk menumbuhkan sifat Allah dalam dirinya. Rasa lemah selama kehamilan menjadi tak terasa karena keikhlasan mencinta dan keinginan berserah hanya kepada Allah. Kekuatan hati yang bersandar hanya kepada Allah ini berpengaruh besar pada harapan bundamu, terutama pada keselamatan dan kesehatanmu. Sungguh, sebagai lelaki, ayahmu tidak akan pernah dikaruniai pengalaman mahal itu.

Cahaya mataku, mungkin kelak kamu bertanya, ”Lalu, apa saja peran ayah selama proses kehamilan?”

Peran ayah, cahaya mataku, tidaklah sebanding dengan saham bundamu, yang membawamu ke mana saja, kapan saja, dan di mana saja. Ayahmu ini, saban hari hanya bisa melantunkan doa-doa. Berharap, semoga isteri dan janinnya selamat, itu saja. Tak lebih, tak kurang. Ayahmu ini, cahaya mataku, setiap hari hanya bisa membesarkan hati bundamu, supaya kelemahan yang menyertai kehamilannya tidak mengganggu kestabilan emosi bundamu. Itulah mengapa sehingga surga itu berada di telapak kaki bundamu, bukan di tapak kaki ayahmu.

Maka, sayangilah bundamu, cahaya mataku. Sebagaimana sayangnya ia padamu, sewaktu kamu dalam dekap rahimnya.

¤¤¤

Sungguh, cahaya mataku, hari-hari penantian kelahiranmu serasa berjalan amat lamban. Setiap hari ayah terbebani rerupa pikiran dan beribu kecemasan. Bagaimana kelak kira-kira rupamu? Akankah seperti bundamu, ayahmu, kakek-nenekmu, atau entah siapa? Begitu pun sifatmu, akan semirip siapa? Apa saja kekurangan-kekuranganmu? Apa saja kelebihan-kelebihanmu? Mancung atau pesekkah hidungmu? Hitam atau putihkah kulitmu? Apakah ada dekik di pipimu laksana lesung pipi bundamu?

Dan seterusnya, dan sebagainya.

Setiap malam, dan seterusnya dan sebagainya itu, selalu menari di benak ayah. Meski sebenarnya bagi ayah, dan juga bundamu, kamu adalah kamu. Bukankah di muka bumi ini, tak ada satu pun manusia yang sama persis dengan manusia lainnya, bahkan kembar siam sekali pun? Dan ketidaksamaan itu, menurut pala ahli waris nabi, adalah salah satu tanda kebesaran dan kehebatan Yang Maha Bisa Segalanya.

Selain itu, cahaya mataku, ayahmu yang hingga kini masih bertahan dalam status ’penganggur’, saban malam dibingungkan oleh kata-kata: bagaimana, berapa, dan dari mana kelak biaya kelahiranmu. Itulah mengapa ayahmu yang miskin ini, memilih kamu dilahirkan di Jeneponto, bukan di Bogor. Karena, cahaya mataku, di sini biaya persalinan relatif murah, masih terjangkau. Sementara di Bogor, biaya persalinan (seperti yang ayah dengar dari Iwan Fals) tersangkut di awan-awan.

Tapi, cahaya mataku, kekhawatiran ayahmu ini, tidak pernah dibiarkan membias di raut wajah. Bukan karena ayah tinggi hati, tak lebih karena ayah tak mau bundamu was-was dan tidak tenang. Ya, dibanding kebingungan-kebingungan itu, ayah lebih mementingkan keselamatan bundamu, dan tentu saja: kamu.

Meski begitu, cahaya mataku, ayah selalu percaya bahwa Yang Bisa Apa Saja selalu menjamin tersedianya rejeki bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kehidupan, bahkan binatang melata sekali pun.

¤¤¤

Tidurlah, cahaya mataku, tidurlah tenang. Atas nama cinta, ayah-bundamu akan selalu berjaga. Dan, terjaga. Menjagamu. Atas nama Allah, ayah-bundamu senantiasa rindu menunggu hari lahirmu.

Ma'rencong-rencong, dinihari, dan nasi jagung

05/06/2005


Malam ini, cahaya mataku, telah sembilan bulan lima hari kamu didekap rahim bundamu. Malam ini, waktu lelap dalam semesta senyap. Ada semangat yang diam-diam kukirim untukmu, menyusup ke rahim bundamu. Sesampainya di sana, akan menemanimu berkelakar dengan kelenjar dan otot-otot tak sadar, hanyut dalam arus darah bundamu, berdendang lirih di kandung kemih, bersenda gurau dengan paru dan jantungmu, lalu menina-bobokanmu dengan shalawat badar sampai suaranya bergaung di dinding-dinding lambung.

Dengarlah, cahaya mataku, dengar. Dengarlah riuhnya kokok ayam jantan bersahutan menjelang fajar. Bumi pun segera menggeliat bangun dan tetumbuhan sibuk membasuh diri dengan linangan embun. Sungguh, cahaya mataku, suasana alam seperti ini takkan kamu temukan, jika kelak kamu tumbuh dan besar di kota besar. Ya, cahaya mataku, hanya di desa kita akan temukan peluh waktu gemerincing di ranting-ranting.

Lihat, cahaya mataku, lihatlah. Di timur, matahari mulai berkemas. Sinarnya ruah menyemburat merah. Pertanda pagi mulai berbenah. Rembulan yang begadang sesuntuk malam, kini beringsut limbung ke sebelah barat bukit Bontotangnga. Pada parasnya yang pucat terlihat gurat-gurat isyarat, sebentar lagi akan berkuasa cahaya melebihi cahayanya.

Engkaulah itu, cahaya mataku.

Engkau belahan jiwaku yang selalu kutunggu di kesunyian, dalam serat rindu berlarat-larat. Engkaulah cahaya mataku, yang setiap sepertiga malam Jumat kujemput dengan rerupa ayat al-Qur’an. Dan manakala paruh malam menjelang istirah di kaki lembah, sembari mengusap lembut perut bundamu, ayah selalu berbisik, ”bangunlah nak, kita tahajjud bersama-sama.”

Dengar, cahaya mataku, dengarlah. Nenekmu, Shafia, yang semoga engkau bisa melihatnya dalam tatapan usia belasan, meniupi tungku hingga api menjalar di kayu bakar, mendidihkan air di kuali, menanak nasi jagung dan keratan-keratan rebung, menebar wewangi lapar hingga ke dalam kamar. Sebelum pagi merekah, cahaya mataku, nenekmu itu pun selalu menunggumu dengan dendang riang ma’rencong-rencong. Suaranya yang tak lagi merdu, selalu setia melantun panjang, mendayu sayup bagai tembang kasmaran, menyusup sampai buaian, berharap engkau cahaya mataku, ikut meresapi makna liriknya yang sederhana.

Kelak, cahaya mataku, mungkin engkau tak lagi bersahabat dengan lagu-lagu rakyat, lagu-lagu beraroma tradisional yang amat kental. Ya, seperti ayah-bundamu, yang lebih banyak menikmati lagu-lagu blues, rock, pop, dan juga dangdut. Padahal, cahaya mataku, lagu ma’rencong-rencong itu sarat dengan doa, impian, dan juga harapan. Lagu itu juga mengandung cita-cita, hasrat, dan falsafah hidup. Lantas, ayahmu ini terhenyak oleh kenangan masa bocah yang tiba-tiba saja membuncah.

Ketahuilah, cahaya mataku, nenekmu itu hanya seorang perempuan kampung yang sederhana. Ia bukan aristokrat, apalagi wanita karir. Tapi, ia adalah pejuang tangguh. Meski tak buta huruf, tapi nenekmu fasih berbahasa Indonesia bukan karena ‘makan’ bangku sekolah, melainkan karena keseringan berkomunikasi dengan cucu-cucunya, yang lebih memilih bahasa Melayu sebagai bahasa ibunya, ketimbang bahasa Makassar. Tapi, cahaya mataku, dari rahim perempuan bersahaja itulah ayahmu ini dikandung dan dilahirkan. Dan dinihari ini, lagu purba itu didendangkan untuk bukan untuk ayahmu. Melainkan untukmu, cucunya dari rahim menantu bersuku Sunda. Dan, oleh karena nenekmu tak bisa menghadiri resepsi pernikahan ayah-bundamu, maka kelahiranmu ri butta Turatea adalah anugerah tak terkira baginya.

Lewat lagu rakyat itu, cahaya mataku, nenekmu ingin menjalin komunikasi denganmu. Ingin berbagi cinta, berbagi kasih, dan berbagi sayang. Ketahuilah, cahaya mataku, kelak jika engkau telah dewasa, engkau akan mengetahui arti dan makna komunikasi. Ya, tak ada satu pun ruang dalam hidup kita yang luput dari komunikasi. Setiap hari, dengan berbagai cara, kita berkomunikasi. Melalui komunikasi, kita dapat menyampaikan keinginan kita, pikiran kita, perasaan kita, dan apa saja yang mengendap di benak kita. Pun juga kebahagiaan, kesenangan, kesengsaraan, dan kesedihan kita.

Dan, cara nenekmu mengajakmu berkomunikasi, sangat sederhana. Hanya lewat selarik kidung rakyat, kidung yang mungkin tak bakal dilirik produser rekaman, karena miskin daya jual dan tidak menarik minat beli.

Sungguh, cahaya mataku, nenekmu pun sangat ingin memberimu asupan makanan dengan gizi berimbang, tetapi di ranah gersang ini, nasi beras bercampur jagung sudah terasa istimewa. Selain itu, ahaya mataku, baik kakek-nenekmu, juga yah-bundamu, tak sanggup beli beras, karena harga sembako yang melambung setinggi langit.

Semoga, cahaya mataku, engkau tidak terlahir sebagai bayi kurang gizi.

¤¤¤

Lihat, cahaya mataku, lihatlah. Bundamu terjaga dalam kecantikan tak terperi, beranjak tenang ke tepi ranjang, mengelus dirimu perlahan, seraya berbisik, ”Tetaplah tidur anakku, biar bunda berjaga di luar tidurmu.”

Begitulah cara bundamu manakala ingin berkomunikasi denganmu. Mungkin terasa amat sederhana, tetapi, tetap saja komunikasi itu menjadi pernyataan cinta seorang ibunda kepada cahaya matanya.

Ya, baik ayahmu pun juga bundamu, selalu tergetar menahan rindu untuk segera meminangmu.

Ketahuilah, cahaya mataku, ketahulaih. Nun, di sebuah kampung kecil, Borongtammatea, engkau selalu menggelinjang setiap subuh meregang, menepis lesu menangkis sayu, berharap kesegaran tumbuh di sekujur tubuh. Dan bundamu, yang membuaimu dalam tenang tanpa keluh, menyegarkan badan dengan pandangan berbinar secerah fajar. Sejenak lagi azan subuh berkumandang. Matahari berkemas, bangkit dari tidur dan melesakkan berjuta lembing cahaya ke haribaan jagat raya. Tumbuhan dan binatang menggeliat terjaga. Segalanya tampak gilang gemilang.

Kelak, engkau pasti akan mengerti betapa indahnya menunggu kedatangan orang yang dirindu.

Kelak, cahaya mataku, tulisan ini semoga jadi pengurai ingatan masa kecilmu. Melarik kenangan tentang dinihari, ma’rencong-rencong, nenekmu, dan sarapan nasi jagung.

Sederhana, memang. Bersahaja, ya. Tapi penuh dengan cinta.